Selasa, 13 November 2012

Masalah Pendidikan di indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Ini terbukti berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2000, mereka melakukan penelitian terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mengetahui kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
3. mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4. Mengetahui solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia. Berikut ini akan dikemukakan tujuan-tujuan pendidikan di Indonesia, yaitu: 
Di dalam BAB II Pasal 2 tentang Dasar, Fungsi, dan Tujuan, menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan pasal 3 juga menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1] 
Bila kita melihat dengan teliti, draf usulan Diknas maupun DPR mengenai Tujuan Pendidikan Nasional kiranya perlu evaluasi kritis mendalam, sebab rumusan dan konsep tujuan pendidikan nasional akan amat berpengaruh pada implementasi, dinamika, arah, dan pelaksanaan pendidikan. Ujung-ujungnya, mutu atau kualitas hasil pendidikan nasional. Karena itu, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bisa bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya. 
Dalam hal ini Drs. B. Suryosubroto juga mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah dalam UU pendidikan, yaitu:
  1. PPembentukan manusia pancasila sebagai tujuan pendidikan nasional kurang di jabarkan secara terrperinci
  2. Memperkembangkan anak didik tidak  sebagai suatu totalitas hanya mementingkan dimensi horizontal saja atau hanya dimensi vertical saja
  3. Tujuan kurikulum hanya menitik beratkan kepada dua sasaran pendidikan yaitu pengetahuan dan kecerdasan
  4. Tujuan instruksional berpusat kepala buruh sehinga bila guru telh mengajarkan bahan pelajaran menganggap tugasnya telah selesai
  5. Pembentukan jiwa yang intelektualitas terlalu mengungkap ratie melupakan aspek-aspek kepribadian yang lain
  6. Pembentukan jiwa priai bekerja di belakang meja teoritis dan bekerja menurut perintah
  7. Karena sejak awal anak didik untuk ersikap individualistis maka system pendidikan konvesional menghasilkan anak didik yang berjiwa inividualistis juga.[2]

B.     Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:  
  • Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
  • Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
  • Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
  • Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
  • Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
  • Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
  • Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
  • Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.[3]
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik .
 Dalam BAB IV Pasal 11 point pertama menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dan point kedua juga menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.[4]
Kalau kita melihat faktanya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.[5]
Dari segi lain dalam buku induk departemen P dan K 1972, di nyatakan bahwa pengembangan pendidikan formal selama sepuluh tahun terakhir ini menghadapi permasalahan sebagai berikut :
  • 1  Masalah kurikulum
  • 2.      Masalah personal
  • 3.      Masalah material
  • 4.      Masalah pembiayaan dn pembelnjaan
  • 5.      Masalah administrasi
  • 6.      Masalah partisipasi masyarakat.[6]

2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Dalam hal ini Drs. B. Suryosubroto juga mengemukakan pendapatnya tentang rendahnya kualitas guru di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktar, yaitu:
1.      Guru lebih banyak berfungsi dan bertugas sebagai pengajar di sekolah
2.      Guru cukup mengajar sesuai dengan texbooks secara teoristis verbalistis, kebnyakan dengan menggunakan metode ceramah
3.      Tenaga yang di perlukan ialah tenaga edukatif di bantu oleh beberapa administrative
4.      Secara tradisional guru di tempatkan dan di tuntut orang yang harus selalu paling tua tentang mata pelajaran di banding dengan murid-muridnya.[7]
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Sistem Evaluasi
Dalam Pasal 58 ayat 1 disebutkan bahwa“Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. [8]
Pasal tersebut tidak sesuai dengan keadaan dilapangan karena evaluasi hasil belajar peserta didik dewasa ini ditentukan oleh pemerintah pusat semata melalui Ujian Nasional (UN). Jadi atas dasar hal tersebut dapat kita lihat bahwa ketetapan mengenai evaluasi pendidikan yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini seolah-olah tidak digunakan dilapangan. Evaluasi pendidikan yang ada dewasa ini mengacu pada PP No. 19 Tahun 2005 bukan pada UU No. 20 Tahun 2003. Pada pelaksanaan pendidikan saat ini seakan-akan PP No. 19 Tahun 2005 telah mengalahkan UU No. 20 Tahun 2003 yang semestinya menjadi induk terhadap penyelenggaraan evaluasi peserta didik.
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Penyebab –penyebab terjadinya masalah-masalah di atas membuat para pakar pendidikan berpendapat bahwa disebabkan oleh rendahnya sistem evaluasi, yaitu:
A.    Sistem evaluasi hanya menitikberatkan kepada penilaian terhadap kemampuan intelektual (pengetahuan dan kecerdasan), tidaak meliputi sasaran pendidikan lainnya.
B.     Sistem evaluasi sifatnya sering tidak kontinu, penilaian tentang kemajuan anak didik sering dilakukan:
1)      Secara moment opname, hanya di waktu-waktu ulangan dan ujian.
2)      Menitik beratkan kepada umum dan kemampuan rata-rata anak didik.
3)      Fungsi evaluasi hanya untuk menilai kemampuan anak dalam menguasai atau memproduksi bahan pelajaran yang diberikan oleh guru, tanpa dijadikan pertimbangan apakah pelajaran selanjutnya mengulang atau dilanjutkan.
4)      Kepada anak secara ketat dikenakan sistem kenaikan kelas, di mana anak harus menyelesaikan program atau mata pelajaran dikelasnya atau tinggal dikelas sedikitnya 1 tahun lamanya.
5)      Anak didik dirangsang untuk menngutamakan pengejaran ijazah yang dianggap sebagai kunci untuk memasuki dunia kerja atau pun pendidikan selanjutnya.
6)      Dep. P & K menyelenggarakan ujian negara bagi jenjang-jenjang yang ada.[9]
4.  Mahalnya Biaya Pendidikan
Dalam Pasal 34 ayat 2 dijelaskan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.[10]
Pada pasal tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia pada saat ini karena dilapangan bisa dilihat bahwa di sekolah swasta itu pemerintah tidak sepenuhnya mendukung pembebasan biaya pendidikan. Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk merasakan bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. 
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. 
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. 
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. 
Salah satu media masa mangatakan tentang masalah biaya pendidikan yang semakin tahun, semakin tidak terkontrol, yaitu: 
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).[11]
Di samping itu Onny S. Priyono dengan kawan-kawan dalam bukunya “situasi pendidikan di indonesia selama sepuluh tahun terakhir “ telah menggaris bawahi pendapat Philips H.coombs ialah bahwa krisis dalam dunia pendidikan itu di timbulkan oleh perpautan historis dalam lima faktor sebagai berikut :
1.      Banjir anak didik yang di sebabkan oleh eksplosi pengharapan yang telah di perbesar lagi oleh ekplosi penduduk
2.      Kekurangan sumber-sumer secara akut baik sumber-sumber keuangan, material maupun insane
3.      Kenaikan biaya peranak didik
4. Tak sesuainya hasil pendidikan dengan kebutuhan masyarakat baik kebutuhan pembangunan nasional maupun kebutuhan-kebutuhan individual
5.      Kurang evisiensinya system dan adsministrasi pendidikan.[12]
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
5.   Masalah Kurikulum
Dalam BAB IX pasal 37 sampai 39 dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan peserta didik. Dalam kurikulum ini harus memuat nilai-nilai khusus yang telah disepakati dalam menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dalam dalam struktur kurikulum pada pendidikan dasar, menengah, bahkan tinggi ini harus memuat beberapa muatan wajib berupa matapelajaran yang harus disampaikan dalam penyelenggaraan kegitan pendidikan yang dilaksanakan pada jenjang-jenjang tersebut. Lebih lanjut lagi, bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studinya.[13]
Sudah jelas sekali bahwa bahwa UU pendidikan tentang kurikulum di sini hanya berpijak pada standar umum saja, pelajaran yang hanya terikat kepada buku, menghafaal rumus-rumus, dan sebagainya, kurang memberikan pengalaman hidup yamg nyata kepada kepada anak didik, masalah-masalh yang sangat menonjol dari kurikulum di sini, yaitu:
1.      Kurikulum menitik beratkan kepada standart umum dan kemammpuan anak didik
2.      Kurikulum berdasarkan subjek matter centerd (berpusat pada mata pelajaran)
3.      Belajar di batasi oleh dinding kelas dan halaman sekolah
4.      Pendekatan kurikulum lebih terikat pada texboks menghafalkan rumus-rumus, tahun-tahun, dan sebagainya kurang memberikan pengalaman hidup yang nyata pada anak didik
5.      Anak terpancang di bangku sekolah sejak wal akhir jam pelajaran
6.      Kurang memperoleh mata peljaran keterampilan
7.      Silabus pada kurikulum sekolah belum disusun dalam paket-paket
8.      Adanya bimbingan penyuluhan di sekolah masih bersikap formalitas dan belum beroprasi secara efektif dan efisien.[14]
Selanjutnya dinyatakan oleh Onny S. Priyono ialah bahwa masalah dalam system pendidikan tentang kurikulum, yaitu:
“Kurikulum sekolah tidak sesuai dengan keperluan pembangunan kurikulum ini meliputi soal-soal: tujuan, orientasi komposisi mata pelajaran, metode mengajar, evaluasi  jenjang status dan fungsi lembga pendidikan atau sekolah”[15]
6.      Masalah Peserta Didik
Dalam BAB VI Pasal 24 Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
1.      Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
2.      Mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan.
3.      Mendapatkan bantuan fasilitas belajar, beasiswa atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
4.      pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yabg hendak dimasuki.
5.      Memperoleh penilaian hasil belajarnya.
6.      menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan.
7.      Mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.[16]
Dalam pemahaman kami mengenai UU di atas bahwa anak didik hanya dijadikan sasaran, faktanya adalah peluang untuk mengenyam bangku pendidikan sangatlah susah, mayoritas bangku pendidikan banyak diperoleh bagi peserta didik yang berasal dari golongan menengah ke atas.
Dalam hal ini Drs. B. Suryosubroto juga mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah yang sangat memprihatinkan bagi anak didik mengenai UU pendidikan, yaitu:
1.      Dalam proses pendidikan anak didik sering di pandang sebagai obyek belaka
2.      Kenyatan sering menunjukan bahwa kesempatan pendidikan lebih banyak di peroleh bagi anak didikyang berasal dari lapisa masyarakat yang mampu bekerja
3.      Sekolah lebih menitik beratkan pada system klasikel, dimana guru menganggap dan memperlakukan semua anak didik sama baik mengenai beground maupun kedirian nya sehigga anak yyang cepat belajar harus mengejar yang cepat
4.      Kondisi struktur dan struktur pengorganisasian sekolah mengakibatkan banyaknya droup out kalangan pelajar atau mahasiswa di Indonesia.[17]

D.   Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya sistem evaluasi,
(4). Mahalnya biaya pendidikan,
(5). Masalah kurikulum,
(6). Masalah peserta didik.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.




[1] Lihat, Drs. H. Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010. Hal. 230
[2] Lihat Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 120
[3] Lihat Prof. Dr. Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: 2004.  PT Rineka Cipta.

[4] Lihat Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 295
[5] Lihat http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.

[6] buku induk departemen P dan K 1972, dikutif oleh Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 123
[7] Lihat Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 123

[8] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 298
[9] Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 122
[10] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 291
[11] Lihat Kompas 10 Mei 2005
[12] Onny S. Priyono, Philips H.coombs dikutip oleh Lihat Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 124
[13] Lihat, Drs. H. Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010. Hal. 243

[14] Lihat Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 121
[15] Onny S. Priyono, dikutip oleh Lihat Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 124
[16] Lihat Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 291
[17] Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 122

1 komentar: