BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Ini terbukti
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2000, mereka melakukan
penelitian terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia
Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk
kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia
menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu
pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya
keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa
hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang
globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang
terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri.
Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang
bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya
ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal.
Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain.
Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia
Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat
meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan
sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang
serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun
informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang
menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan
keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara
lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal
tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan
dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di
Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di
Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana solusi yang dapat
diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mengetahui kualitas pendidikan di Indonesia
saat ini.
3. mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4. Mengetahui solusi yang dapat diberikan dari
permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di
Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab
pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di
bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia. Berikut ini
akan dikemukakan tujuan-tujuan pendidikan di Indonesia, yaitu:
Di dalam BAB II Pasal 2 tentang Dasar, Fungsi, dan Tujuan, menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan pasal 3 juga menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Bila kita melihat dengan teliti, draf usulan Diknas maupun DPR mengenai Tujuan Pendidikan Nasional kiranya perlu evaluasi kritis mendalam, sebab rumusan dan konsep tujuan pendidikan nasional akan amat berpengaruh pada implementasi, dinamika, arah, dan pelaksanaan pendidikan. Ujung-ujungnya, mutu atau kualitas hasil pendidikan nasional. Karena itu, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bisa bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.
Dalam hal ini Drs. B. Suryosubroto juga mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah dalam UU pendidikan, yaitu:
Di dalam BAB II Pasal 2 tentang Dasar, Fungsi, dan Tujuan, menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan pasal 3 juga menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Bila kita melihat dengan teliti, draf usulan Diknas maupun DPR mengenai Tujuan Pendidikan Nasional kiranya perlu evaluasi kritis mendalam, sebab rumusan dan konsep tujuan pendidikan nasional akan amat berpengaruh pada implementasi, dinamika, arah, dan pelaksanaan pendidikan. Ujung-ujungnya, mutu atau kualitas hasil pendidikan nasional. Karena itu, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bisa bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.
Dalam hal ini Drs. B. Suryosubroto juga mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah dalam UU pendidikan, yaitu:
- PPembentukan
manusia pancasila sebagai tujuan pendidikan nasional kurang di jabarkan secara
terrperinci
- Memperkembangkan
anak didik tidak sebagai suatu totalitas
hanya mementingkan dimensi horizontal saja atau hanya dimensi vertical saja
- Tujuan
kurikulum hanya menitik beratkan kepada dua sasaran pendidikan yaitu
pengetahuan dan kecerdasan
- Tujuan
instruksional berpusat kepala buruh sehinga bila guru telh mengajarkan bahan
pelajaran menganggap tugasnya telah selesai
- Pembentukan
jiwa yang intelektualitas terlalu mengungkap ratie melupakan aspek-aspek
kepribadian yang lain
- Pembentukan
jiwa priai bekerja di belakang meja teoritis dan bekerja menurut perintah
- Karena
sejak awal anak didik untuk ersikap individualistis maka system pendidikan
konvesional menghasilkan anak didik yang berjiwa inividualistis juga.[2]
B.
Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui,
kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari
kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya
harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,
guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak
diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang
sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar
murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut,
tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru
berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut
menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi
penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang
tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat
hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar
secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan
sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung
jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat
kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah
yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
- Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni
meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di
Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
- Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam
akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
- Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan
meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata
kelulusan dalam ujian nasional.
- Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis
pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan
tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
- Langkah kelima, pemerintah berencana membangun
infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di
sekolah-sekolah.
-
Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran
pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
- Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi
dalam aplikasi pendidikan.
-
Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin
untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.[3]
C. Penyebab Rendahnya Kualitas
Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa
penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik .
Dalam BAB IV Pasal 11 point pertama menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dan point kedua juga menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.[4]
Dalam BAB IV Pasal 11 point pertama menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dan point kedua juga menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.[4]
Kalau kita melihat faktanya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah,
buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut
sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami
kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.
Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.[5]
Dari
segi lain dalam buku
induk departemen P dan K 1972, di nyatakan bahwa pengembangan pendidikan formal
selama sepuluh tahun terakhir ini menghadapi permasalahan sebagai berikut :
- 1 Masalah kurikulum
- 2. Masalah personal
- 3. Masalah material
- 4. Masalah pembiayaan dn pembelnjaan
- 5. Masalah administrasi
- 6. Masalah partisipasi masyarakat.[6]
2. Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru
di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Dalam hal ini Drs. B. Suryosubroto juga mengemukakan
pendapatnya tentang rendahnya kualitas guru di Indonesia disebabkan oleh
beberapa faktar, yaitu:
1. Guru
lebih banyak berfungsi dan bertugas sebagai pengajar di sekolah
2. Guru
cukup mengajar sesuai dengan texbooks secara teoristis verbalistis, kebnyakan
dengan menggunakan metode ceramah
3. Tenaga
yang di perlukan ialah tenaga edukatif di bantu oleh beberapa administrative
4. Secara
tradisional guru di tempatkan dan di tuntut orang yang harus selalu paling tua tentang mata pelajaran di banding
dengan murid-muridnya.[7]
Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai
cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang
rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Sistem Evaluasi
Dalam Pasal 58 ayat 1 disebutkan bahwa“Evaluasi
hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. [8]
Pasal
tersebut tidak sesuai dengan keadaan dilapangan karena evaluasi hasil belajar peserta didik dewasa ini ditentukan oleh
pemerintah pusat semata melalui
Ujian Nasional (UN). Jadi atas
dasar hal tersebut dapat kita lihat bahwa ketetapan mengenai evaluasi
pendidikan yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini seolah-olah tidak
digunakan dilapangan. Evaluasi pendidikan yang ada dewasa ini mengacu pada PP
No. 19 Tahun 2005 bukan pada UU No. 20 Tahun 2003. Pada pelaksanaan pendidikan
saat ini seakan-akan PP No. 19 Tahun 2005 telah mengalahkan UU No. 20 Tahun
2003 yang semestinya menjadi induk terhadap penyelenggaraan evaluasi peserta
didik.
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal
prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara
serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development
Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,
posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala
internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA
(Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di
Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong),
74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu,
hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R,
1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi
siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk
Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77
universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di
Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Penyebab –penyebab terjadinya masalah-masalah di atas membuat para pakar
pendidikan berpendapat bahwa disebabkan oleh rendahnya sistem evaluasi, yaitu:
A.
Sistem evaluasi hanya menitikberatkan kepada penilaian terhadap kemampuan
intelektual (pengetahuan dan kecerdasan), tidaak meliputi sasaran pendidikan
lainnya.
B.
Sistem evaluasi sifatnya sering tidak kontinu, penilaian tentang kemajuan
anak didik sering dilakukan:
1)
Secara moment opname, hanya di waktu-waktu ulangan dan ujian.
2)
Menitik beratkan kepada umum dan kemampuan rata-rata anak didik.
3)
Fungsi evaluasi hanya untuk menilai kemampuan anak dalam menguasai atau
memproduksi bahan pelajaran yang diberikan oleh guru, tanpa dijadikan
pertimbangan apakah pelajaran selanjutnya mengulang atau dilanjutkan.
4)
Kepada anak secara ketat dikenakan sistem kenaikan kelas, di mana anak
harus menyelesaikan program atau mata pelajaran dikelasnya atau tinggal dikelas
sedikitnya 1 tahun lamanya.
5)
Anak didik dirangsang untuk menngutamakan pengejaran ijazah yang dianggap
sebagai kunci untuk memasuki dunia kerja atau pun pendidikan selanjutnya.
6)
Dep. P & K menyelenggarakan ujian negara bagi jenjang-jenjang yang ada.[9]
4. Mahalnya
Biaya Pendidikan
Dalam Pasal 34 ayat 2 dijelaskan bahwa “Pemerintah
dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.[10]
Pada pasal tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi
pendidikan di Indonesia pada saat ini karena dilapangan bisa dilihat bahwa di
sekolah swasta itu pemerintah tidak sepenuhnya mendukung pembebasan biaya
pendidikan. Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk merasakan bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK)
hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan
lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada
realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Salah satu media masa mangatakan tentang masalah biaya pendidikan yang semakin tahun, semakin tidak terkontrol, yaitu:
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).[11]
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Salah satu media masa mangatakan tentang masalah biaya pendidikan yang semakin tahun, semakin tidak terkontrol, yaitu:
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).[11]
Di samping itu Onny S. Priyono dengan kawan-kawan
dalam bukunya “situasi pendidikan di indonesia selama sepuluh tahun terakhir “
telah menggaris bawahi pendapat Philips H.coombs ialah bahwa krisis dalam dunia
pendidikan itu di timbulkan oleh perpautan historis dalam lima faktor sebagai
berikut :
1. Banjir
anak didik yang di sebabkan oleh eksplosi pengharapan yang telah di perbesar
lagi oleh ekplosi penduduk
2. Kekurangan
sumber-sumer secara akut baik sumber-sumber keuangan, material maupun insane
3. Kenaikan
biaya peranak didik
4. Tak
sesuainya hasil pendidikan dengan kebutuhan masyarakat baik kebutuhan
pembangunan nasional maupun kebutuhan-kebutuhan individual
Dari APBN
2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana
untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id).
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum
Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan
itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),
Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi
pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan
begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada
dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi
pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama
oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan.
Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang
wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah
negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi
masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan
bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di
Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan
tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara
ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
5. Masalah Kurikulum
Dalam BAB IX pasal 37 sampai 39 dijelaskan bahwa pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dalam
rangka mewujudkan tujuan pendidikan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan
peserta didik. Dalam kurikulum
ini harus memuat nilai-nilai khusus yang telah disepakati dalam menjamin
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dalam dalam struktur kurikulum pada pendidikan dasar,
menengah, bahkan tinggi ini harus memuat beberapa muatan wajib berupa
matapelajaran yang harus disampaikan dalam penyelenggaraan kegitan pendidikan
yang dilaksanakan pada jenjang-jenjang tersebut. Lebih lanjut lagi, bahwa
kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan
oleh pemerintah, sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk setiap program studinya.[13]
Sudah jelas sekali
bahwa bahwa UU pendidikan tentang kurikulum di sini hanya berpijak pada standar
umum saja, pelajaran yang hanya terikat kepada buku, menghafaal rumus-rumus,
dan sebagainya, kurang memberikan pengalaman hidup yamg nyata kepada kepada
anak didik, masalah-masalh yang sangat menonjol dari kurikulum di sini, yaitu:
1. Kurikulum
menitik beratkan kepada standart umum dan kemammpuan anak didik
2. Kurikulum
berdasarkan subjek matter centerd (berpusat pada mata pelajaran)
3. Belajar
di batasi oleh dinding kelas dan halaman sekolah
4. Pendekatan
kurikulum lebih terikat pada texboks menghafalkan rumus-rumus, tahun-tahun, dan
sebagainya kurang memberikan pengalaman hidup yang nyata pada anak didik
5. Anak
terpancang di bangku sekolah sejak wal akhir jam pelajaran
6. Kurang
memperoleh mata peljaran keterampilan
7. Silabus
pada kurikulum sekolah belum disusun dalam paket-paket
8. Adanya
bimbingan penyuluhan di sekolah masih bersikap formalitas dan belum beroprasi
secara efektif dan efisien.[14]
Selanjutnya dinyatakan oleh Onny S.
Priyono ialah bahwa masalah
dalam system pendidikan tentang kurikulum, yaitu:
“Kurikulum sekolah tidak sesuai dengan keperluan
pembangunan kurikulum ini meliputi soal-soal: tujuan, orientasi komposisi mata
pelajaran, metode mengajar, evaluasi
jenjang status dan fungsi lembga pendidikan atau sekolah”[15]
6.
Masalah Peserta Didik
Dalam BAB VI Pasal 24 Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak:
1.
Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya.
2.
Mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas
dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan diri maupun untuk
memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan.
3.
Mendapatkan bantuan fasilitas belajar, beasiswa
atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
4.
pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang
tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada
satuan pendidikan yabg hendak dimasuki.
5.
Memperoleh penilaian hasil belajarnya.
6. menyelesaikan
program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan.
Dalam pemahaman kami mengenai UU
di atas bahwa anak didik hanya dijadikan sasaran, faktanya adalah peluang untuk
mengenyam bangku pendidikan sangatlah susah, mayoritas bangku pendidikan banyak
diperoleh bagi peserta didik yang berasal dari golongan menengah ke atas.
Dalam hal ini Drs. B. Suryosubroto juga mengemukakan pendapatnya tentang
masalah-masalah yang sangat memprihatinkan bagi anak didik mengenai UU
pendidikan, yaitu:
1. Dalam
proses pendidikan anak didik sering di pandang sebagai obyek belaka
2. Kenyatan
sering menunjukan bahwa kesempatan pendidikan lebih banyak di peroleh bagi anak didikyang berasal dari
lapisa masyarakat yang mampu bekerja
3. Sekolah
lebih menitik beratkan pada system klasikel, dimana guru menganggap dan
memperlakukan semua anak didik sama baik mengenai beground maupun kedirian nya
sehigga anak yyang cepat belajar harus mengejar yang cepat
4. Kondisi
struktur dan struktur pengorganisasian sekolah mengakibatkan banyaknya droup
out kalangan pelajar atau mahasiswa di Indonesia.[17]
D. Solusi dari
Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk
mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat
diberikan yaitu:
Pertama,
solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
–seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan
sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer
sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib
dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua,
solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah
kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kualitas
pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan
kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab
utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih
kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya sistem
evaluasi,
(4). Mahalnya biaya pendidikan,
(5). Masalah kurikulum,
(6). Masalah peserta
didik.
Adapun
solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan
mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan
meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era
globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional
yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah
satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan
dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya
terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas
pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya
dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di
dunia internasional.
[2]
Lihat Drs. B.
Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta,
1983. Hal. 120
[4]
Lihat Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 295
[6]
buku induk departemen P dan
K 1972, dikutif oleh Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar
Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1983. Hal. 123
[7]
Lihat Drs. B.
Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta,
1983. Hal. 123
[8]
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 298
[9]
Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta:
Rineka Cipta, 1983. Hal. 122
[10]
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 291
[11] Lihat Kompas 10 Mei 2005
[12] Onny S. Priyono, Philips H.coombs dikutip oleh Lihat Drs. B.
Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta,
1983. Hal. 124
[13]
Lihat, Drs. H. Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2010. Hal. 243
[14]
Lihat Drs. B.
Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta,
1983. Hal. 121
[15]
Onny S. Priyono,
dikutip oleh Lihat Drs.
B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka
Cipta, 1983. Hal. 124
[16]
Lihat Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 291
[17]
Drs. B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta:
Rineka Cipta, 1983. Hal. 122
thanks atas infonya...
BalasHapus